Oleh :
LBH Bandar Lampung
Chandra
Muliawan
“....... Negara Republik Indonesia yang berkaudalatan rakyat dengan berdasarkan
kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusian yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia”.
Sekiranya, petikan diatas
sebagaiamana yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat dapat
mengilhami kita semua dalam melihat sesuatu perihal yang bersangkutpaut dengan
penyelenggaraan Negara, khususnya dalam beberapa kegiatan yang bersentuhan
langsung dengan rakyat.
Permasalahan dalam hal penempatan
rumah dinas saat ini menjadi perjuangan panjang oleh beberapa golongan/rakyat.
Perlawanan terhadap Pelanggaran hak-hak dasar serta hak konstitusional ini
semakin masiv karena melibatkan beberapa kekuatan Pemerintah lintas sektoral.
Hingga saat ini Negara masih mengabaikan, bahwa Hak atas Perumahan merupakan
salah satu hak dimana Negara Merupakan Pemegang Tanggung Jawab atas
pemenuhannya dan dinyatakan secara eksplisit pada peraturan perundang-undangan
yang berlaku, misalnya Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menyatakan , “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir
dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan
sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Selanjutnya, dalam Pasal 40 UU
No. 39 tahun 1999 tentang HAM, menyatakan bahwa : “Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang
layak”. Pasal 5 ayat (1) UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan
Pemukiman, “Setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati dan/atau
menikmati dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman,
serasi dan teratur.” Pasal 11 ayat (1) UU No. 11 tahun 2005, “Negara Pihak pada
Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya
dan keluarganya, termasuk pangan, sandang dan perumahan, dan atas perbaikan
kondisi hidup terus menerus”.
Realitasnya, pada tingkat
implementasi, pengalihan hak dan penjualan rumah negara kepada penghuni maupun
pihak lain sudah terjadi sebelumnya. Diskriminasi perlakuan negara dalam hal
ini terhadap warga yang berhak lainnya bertentangan dengan azas Keadilan Sosial
Bagi Seluruh Rakyat Indonesia yang diamanatkan oleh sumber peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yaitu Pancasila dan UUD 1945.
Tentunya hal ini menjadi
kontradiktif manakala kita melihat secara jernih dalam beberapa kasus
pelanggaran tindakan untuk pengosongan rumah Dinas, salah satunya oleh PT
Kereta Api Indonesia (KAI) Sub Divre 3.2 Tanjungkarang. Dimana pihak PT. KAI
akan melakukan pengosongan terhadap beberapa rumah dinas yang berada di
dikawasan Jalan Dipo, Hanoman, Pasirgintung, Gunungsari, dan Kampung
Tempel Bandar Lampung. Peraturan perundang-undangan yang berlaku juga
mewajibkan Pemerintah melakukan perbaikan dan optimilisasi kekayaan negara
berdasarkan pada prinsip-prinsip fungsional, kepastian hukum, transparansi,
efisiensi, akuntabilitas dan kepastian nilai sehingga dapat mewujudkan
pengelolaan aset negara yang profesional dan efisien sebagaimana diamanatkan
pada UU No. 17 tahun 2003 dan UU No. 1 tahun 2004, beserta peraturan-peraturan
dibawahnya, seperti PP No. 6 tahun 2006 yang telah diubah dengan PP No.38 tahun
2008, yang telah juga dilengkapi dengan peraturan-peraturan teknis.
PT. Kereta Api Indonesia
(Persero) merupakan Perusahaan milik negara yang masuk dalam lingkungan Badan
Usaha Milik Negara (BUMN). Sehingga yang menjadi aset PT. KAI merupakan bagian
dari keuangan Negara. Sehingga apa yang menjadi dasar dari suatu Pendaftaran,
Pengelolaan, Pengalihan, Penghapusan segala aset berupa tanah maupun bangunan
yang berdiri diatasnya dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku dengan memperhatikan asas kepatutan, pemerintahan yang baik,
transparansi, akuntabilitas serta asas-asas lain yang berkaitan erat dengan
penyelenggaraan Pemerintahan maupun Perusahaan yang baik.
PT. KAI (Persero) telah melakukan tindakan yang sewenang-wenang, dengan
berbagai upaya yang oleh mereka dialaskan pada penertiban aset, yang kemudian
hanya dijadikan alasan untuk mengusir paksa, intimidasi dengan cara melawan
hukum. Belum lama ini, tepatnya di akhir Tahun 2012, BPN Kota Bandar Lampung mengeluarkan
sertipikat atas permohonan HGB oleh PT. KAI (Persero). Berkaitan dengan hal
itu, kami telah mempertanyakan dan memasukan hal keberatan atas terbitnya
sertipikat tersebut dengan beberapa point keberatan, antara lain :
o
Berdasarkan Pasal 12
ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, kegiatan pendaftaran
tanah untuk pertama kali dimulai dengan pengumpulan dan pengolahan data fisik.
Dimana data fisik merupakan keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang
tanah yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian
bangunan diatasnya. Berdasarkan aturan ini, seharusnya kami mengetahui akan
adanya kegiatan tersebut. Dalam hal ini, Pihak BPN Kota Bandar Lampung sudah
melanggar asas aman, mutakhir, kepatutan dan kehati-hatian dalam melaksanakan
kegiatan pendaftaran tanah. Kami sebagai penghuni sah dari bangunan-bangunan
yang berdiri diatas tanah tersebut tidak pernah dilibatkan maupun mengetahui
serta merasakan adanya kegiatan mengenai pengumpulan data fisik.
o
Pasal 23 huruf a angka (1) Penetapan hak
atas tanah baru harus dibuktikan dengan penetapan pemberian hak dari pejabat
yang berwenang memberikan hak yang bersangkutan menurut ketentuan yang berlaku.
Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa dalam petikan sertipikat HGB No. 101
yang menjadi dasar pendaftaran hanyalah Daftar isian 202 dan Surat Kakantah BPN
Kota Bandar Lampung No. 106/HGB/BPN.08.01/2012. Seharusnya, PT. KAI (Persero)
sebagai Perusahaan BUMN memiliki data yang menunjukan hak atas pengelolaan aset
yang terdaftar di Kementerian Keuangan dan/atau Kementerian BUMN sebagai Kuasa
Pengguna Aset (Keuangan Negara). Hal ini menunjukan bahwa terdapat kekeliruan
dan tidak terpenuhinya syarat dalam hal pendaftaran mengenai pembuktian hak
baru.
o
Berdasarkan hasil penelusuran mengenai
terbitnya sertipikat HGB yang dimaksud, kami tidak pernah melihat, mendengar
secara langsung penyiaran pengumuman mengenai hasil pengukuran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) yang kemudian diwajibkan dalam Pasal 26 ayat
(1) PP No. 24 Tahun 1997 untuk diumumkan selama 60 hari untuk memberikan
kesempatan kepada pihak yang berkepentingan mengajukan keberatan.
o
Berdasarkan petikan dalam sertipikat,
terdapat kejanggalan dari waktu terbitnya sertipikat HGB No. 101. Dimana Surat
Ukur dikeluarkan pada tanggal 10-12-2012 yang kemudian dilakukan penerbitan
sertipikat pada keesok harinya pada tanggal 11 Desember 2012. Mengacu pada
ketentuan Pasal 26 ayat (1), seharusnya ada rentang waktu 60 hari dari
pengukuran dan pemetaan bidang tanah. Rentang waktu tersebut berkaitan dengan
pengumuman mengenai hasil pengukuran, yang oleh pasal 26 ayat (3) pengumuman
dilakukan melalui media masa.
o
Rumah Negara sebagaimana
termuat dalam ketentuan Pasal 1 Perpres No. 11 Tahun 2008, Rumah Negara adalah
bangunan yang dimiliki negara dan berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian
dan sarana pembinaan keluarga serta menunjang pelaksanaan tugas pejabat
dan/atau Pegawai Negeri. Selanjutnya, Berdasarkan ketentuan Pasal
13 PP No. 40 Tahun 1994 menyatakan bahwa : “ Setiap Rumah Negara wajib
didaftarkan oleh pimpinan instansi yang bersangkutan kepada Menteri Pekerjaan
Umum. Tujuannya adalah demi terwujudnya tertib administrasi kekayaan Negara
berupa rumah dan bangunan gedung antara lain untuk mengetahui secara tepat dan
rinci jumlah aset negara yang berupa bangunan dan rumah negara dan terutama
untuk mengetahui besarnya pemasukan keuangan kepada negara dari hasil sewa,
penjualan dan penghapusan gedung dan rumah negara. Dengan diterbitkannya sertipikat
HGB ini, kami berpendapat bahwa Direksi/Pimpinan PT. KAI (Persero) telah lalai
dalam mengelola dan mengelola asetnya serta telah menempatkannya pada posisi
yang salah. HGB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) UU No. 5 Tahun
1950 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria adalah hak untuk mendirikan
dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan
jangka waktu paling lama 30 tahun. Bangunan tersbut sejak Tahun 1965
setidak-tidaknya lebih dari 25 Tahun dihuni oleh kami secara sah, dengan
demikian kami mempertanyakan mengenai alas hak PT. KAI (Persero) dalam hal
memungut uang sewa Rumah sebelum terbitnya sertipikat HGB yang dimaksud.
o
Dengan terbitkan sertipikat HGB
tersebut, maka membuka peluang terhadap tindakan untuk menjadikan objek
tersebut sebagai jaminan hutang dengan pembebanan hak tanggungan sebagaimana
termaksud dalam Pasal 33 ayat (1) PP No. 40 Tahun 1996. Tidak hanya demikian,
selanjutnya Pasal 34 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa pemegang sertipikat HGB
dapat mengalihkannya kepada pihak lain dengan cara : jual beli, tukar menukar,
penyertaan dalam modal, hibah.
o
Tentunya apa yang menjadi keberatan kami
pada poin 9, bertentangan dengan pasal 24 ayat (1) PP No. 40 Tahun 1994, serta
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 22/PRT/M/2008 yang menyatakan bahwa
kewenangan untuk melakukan pengalihan hak atas
kekayaan negara (aset perusahaan PT. KAI) ada pada kementerian Pekerjaan
Umum.
Dengan demikian, kami menghimbau kepada para pihak terkait, penghuni rumah
dinas PT. KAI, aparatur penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, dll) untuk dapat
melihat persoalan ini denga jernih. Khusus kepada Aparatur Penegak Hukum Kami
sebagai warga sipil, dengan ini sekaligus meminta perlindungan fisik maupun
hukum dari kegiatan-kegiatan intimidasi yang kemungkinan akan terjadi
dikemudian hari.
-------------------------------------------------------------------------------------------
Bandar Lampung, 3 Juni 2013