Selasa, 04 Juni 2013

UPAYA PAKSA PENGOSONGAN RUMAH DINAS OLEH PT. KAI (PERSERO)





Oleh :
LBH Bandar Lampung
Chandra Muliawan


“....... Negara Republik Indonesia yang berkaudalatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusian yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Sekiranya, petikan diatas sebagaiamana yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat dapat mengilhami kita semua dalam melihat sesuatu perihal yang bersangkutpaut dengan penyelenggaraan Negara, khususnya dalam beberapa kegiatan yang bersentuhan langsung dengan rakyat.

Permasalahan dalam hal penempatan rumah dinas saat ini menjadi perjuangan panjang oleh beberapa golongan/rakyat. Perlawanan terhadap Pelanggaran hak-hak dasar serta hak konstitusional ini semakin masiv karena melibatkan beberapa kekuatan Pemerintah lintas sektoral. Hingga saat ini Negara masih mengabaikan, bahwa Hak atas Perumahan merupakan salah satu hak dimana Negara Merupakan Pemegang Tanggung Jawab atas pemenuhannya dan dinyatakan secara eksplisit pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, misalnya Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menyatakan , “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Selanjutnya, dalam Pasal 40 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, menyatakan bahwa : “Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak”. Pasal 5 ayat (1) UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman, “Setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati dan/atau menikmati dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur.” Pasal 11 ayat (1) UU No. 11 tahun 2005, “Negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang dan perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup terus menerus”.

Realitasnya, pada tingkat implementasi, pengalihan hak dan penjualan rumah negara kepada penghuni maupun pihak lain sudah terjadi sebelumnya. Diskriminasi perlakuan negara dalam hal ini terhadap warga yang berhak lainnya bertentangan dengan azas Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia yang diamanatkan oleh sumber peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu Pancasila dan UUD 1945.

Tentunya hal ini menjadi kontradiktif manakala kita melihat secara jernih dalam beberapa kasus pelanggaran tindakan untuk pengosongan rumah Dinas, salah satunya oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) Sub Divre 3.2 Tanjungkarang. Dimana pihak PT. KAI akan melakukan pengosongan terhadap beberapa rumah dinas yang berada di dikawasan Jalan Dipo, Hanoman, Pasirgintung,  Gunungsari, dan Kampung Tempel Bandar Lampung. Peraturan perundang-undangan yang berlaku juga mewajibkan Pemerintah melakukan perbaikan dan optimilisasi kekayaan negara berdasarkan pada prinsip-prinsip fungsional, kepastian hukum, transparansi, efisiensi, akuntabilitas dan kepastian nilai sehingga dapat mewujudkan pengelolaan aset negara yang profesional dan efisien sebagaimana diamanatkan pada UU No. 17 tahun 2003 dan UU No. 1 tahun 2004, beserta peraturan-peraturan dibawahnya, seperti PP No. 6 tahun 2006 yang telah diubah dengan PP No.38 tahun 2008, yang telah juga dilengkapi dengan peraturan-peraturan teknis.

PT. Kereta Api Indonesia (Persero) merupakan Perusahaan milik negara yang masuk dalam lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sehingga yang menjadi aset PT. KAI merupakan bagian dari keuangan Negara. Sehingga apa yang menjadi dasar dari suatu Pendaftaran, Pengelolaan, Pengalihan, Penghapusan segala aset berupa tanah maupun bangunan yang berdiri diatasnya dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan memperhatikan asas kepatutan, pemerintahan yang baik, transparansi, akuntabilitas serta asas-asas lain yang berkaitan erat dengan penyelenggaraan Pemerintahan maupun Perusahaan yang baik.

PT. KAI (Persero) telah melakukan tindakan yang sewenang-wenang, dengan berbagai upaya yang oleh mereka dialaskan pada penertiban aset, yang kemudian hanya dijadikan alasan untuk mengusir paksa, intimidasi dengan cara melawan hukum. Belum lama ini, tepatnya di akhir Tahun 2012,  BPN Kota Bandar Lampung mengeluarkan sertipikat atas permohonan HGB oleh PT. KAI (Persero). Berkaitan dengan hal itu, kami telah mempertanyakan dan memasukan hal keberatan atas terbitnya sertipikat tersebut dengan beberapa point keberatan, antara lain :

o   Berdasarkan Pasal 12 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dimulai dengan pengumpulan dan pengolahan data fisik. Dimana data fisik merupakan keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan diatasnya. Berdasarkan aturan ini, seharusnya kami mengetahui akan adanya kegiatan tersebut. Dalam hal ini, Pihak BPN Kota Bandar Lampung sudah melanggar asas aman, mutakhir, kepatutan dan kehati-hatian dalam melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah. Kami sebagai penghuni sah dari bangunan-bangunan yang berdiri diatas tanah tersebut tidak pernah dilibatkan maupun mengetahui serta merasakan adanya kegiatan mengenai pengumpulan data fisik.

o   Pasal 23 huruf a angka (1) Penetapan hak atas tanah baru harus dibuktikan dengan penetapan pemberian hak dari pejabat yang berwenang memberikan hak yang bersangkutan menurut ketentuan yang berlaku. Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa dalam petikan sertipikat HGB No. 101 yang menjadi dasar pendaftaran hanyalah Daftar isian 202 dan Surat Kakantah BPN Kota Bandar Lampung No. 106/HGB/BPN.08.01/2012. Seharusnya, PT. KAI (Persero) sebagai Perusahaan BUMN memiliki data yang menunjukan hak atas pengelolaan aset yang terdaftar di Kementerian Keuangan dan/atau Kementerian BUMN sebagai Kuasa Pengguna Aset (Keuangan Negara). Hal ini menunjukan bahwa terdapat kekeliruan dan tidak terpenuhinya syarat dalam hal pendaftaran mengenai pembuktian hak baru.

o   Berdasarkan hasil penelusuran mengenai terbitnya sertipikat HGB yang dimaksud, kami tidak pernah melihat, mendengar secara langsung penyiaran pengumuman mengenai hasil pengukuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) yang kemudian diwajibkan dalam Pasal 26 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 untuk diumumkan selama 60 hari untuk memberikan kesempatan kepada pihak yang berkepentingan mengajukan keberatan.

o   Berdasarkan petikan dalam sertipikat, terdapat kejanggalan dari waktu terbitnya sertipikat HGB No. 101. Dimana Surat Ukur dikeluarkan pada tanggal 10-12-2012 yang kemudian dilakukan penerbitan sertipikat pada keesok harinya pada tanggal 11 Desember 2012. Mengacu pada ketentuan Pasal 26 ayat (1), seharusnya ada rentang waktu 60 hari dari pengukuran dan pemetaan bidang tanah. Rentang waktu tersebut berkaitan dengan pengumuman mengenai hasil pengukuran, yang oleh pasal 26 ayat (3) pengumuman dilakukan melalui media masa.

o   Rumah Negara sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 1 Perpres No. 11 Tahun 2008, Rumah Negara adalah bangunan yang dimiliki negara dan berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga serta menunjang pelaksanaan tugas pejabat dan/atau Pegawai Negeri. Selanjutnya, Berdasarkan ketentuan Pasal 13 PP No. 40 Tahun 1994 menyatakan bahwa : “ Setiap Rumah Negara wajib didaftarkan oleh pimpinan instansi yang bersangkutan kepada Menteri Pekerjaan Umum. Tujuannya adalah demi terwujudnya tertib administrasi kekayaan Negara berupa rumah dan bangunan gedung antara lain untuk mengetahui secara tepat dan rinci jumlah aset negara yang berupa bangunan dan rumah negara dan terutama untuk mengetahui besarnya pemasukan keuangan kepada negara dari hasil sewa, penjualan dan penghapusan gedung dan rumah negara. Dengan diterbitkannya sertipikat HGB ini, kami berpendapat bahwa Direksi/Pimpinan PT. KAI (Persero) telah lalai dalam mengelola dan mengelola asetnya serta telah menempatkannya pada posisi yang salah. HGB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1950 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Bangunan tersbut sejak Tahun 1965 setidak-tidaknya lebih dari 25 Tahun dihuni oleh kami secara sah, dengan demikian kami mempertanyakan mengenai alas hak PT. KAI (Persero) dalam hal memungut uang sewa Rumah sebelum terbitnya sertipikat HGB yang dimaksud.

o   Dengan terbitkan sertipikat HGB tersebut, maka membuka peluang terhadap tindakan untuk menjadikan objek tersebut sebagai jaminan hutang dengan pembebanan hak tanggungan sebagaimana termaksud dalam Pasal 33 ayat (1) PP No. 40 Tahun 1996. Tidak hanya demikian, selanjutnya Pasal 34 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa pemegang sertipikat HGB dapat mengalihkannya kepada pihak lain dengan cara : jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal, hibah.

o   Tentunya apa yang menjadi keberatan kami pada poin 9, bertentangan dengan pasal 24 ayat (1) PP No. 40 Tahun 1994, serta Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 22/PRT/M/2008 yang menyatakan bahwa kewenangan untuk melakukan pengalihan hak atas  kekayaan negara (aset perusahaan PT. KAI) ada pada kementerian Pekerjaan Umum.

Dengan demikian, kami menghimbau kepada para pihak terkait, penghuni rumah dinas PT. KAI, aparatur penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, dll) untuk dapat melihat persoalan ini denga jernih. Khusus kepada Aparatur Penegak Hukum Kami sebagai warga sipil, dengan ini sekaligus meminta perlindungan fisik maupun hukum dari kegiatan-kegiatan intimidasi yang kemungkinan akan terjadi dikemudian hari.

------------------------------------------------------------------------------------------- Bandar Lampung, 3 Juni 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar